Rantai dan Kedirianku Oleh Terapi Minor

Source: @serikattahanan (Instagram), https://medium.com/@serikattahanan (Medium)

Source: serikattahanan

 

Oleh Terapi Minor

Tulisan ini hanya pengalaman yang pernah aku lalui, khususnya saat aku merasakan apa yang dinamakan penjara. Saat ini, aku sedang dihukum penjara sejak akhir 2022. Aku dikenakan pasal 111 dengan barang bukti sebanyak 1 gram ganja. Pengedar ganja bakal menjadikan kasusku bahan lelucon, sebab 1 gram tidak cukup untuk menjadi selinting ganja. Aku menjalani hukuman pidana 6 tahun dan subsider 3 bulan (subsider artinya masa hukuman yang tidak bisa dipotong remisi apa pun kecuali dengan membayar denda yang jumlahnya sampai milyaran rupiah).

Ini adalah kali kedua aku merasakan keterasingan. Yang pertama, aku dipenjara pada tahun 2020 akibat kasus “vandalisme” dan perusakan properti, yang pada waktu itu aku anggap perlawanan romantik. Kali ini aku akan bercerita mengenai kasus pertama saat aku dijerat pasal 14, 15, dan UU ITE serta pasal 160. Inilah tiga pasal berlapis yang menempatkanku sebagai seorang “provokator kerusuhan”.

Memang ada terbesit bahwa apa yang aku lakukan bersama beberapa kawan waktu itu adalah sebuah pemantik untuk membakar hasrat pembangkangan. Namun, satu hal yang terlupa dariku adalah negara satu langkah di depan kami. Pun, masyarakat punya berbagai pandangannya masing-masing.

Semua berawal ketika aku bertemu kembali dengan dua orang kawanku. Sebut saja mereka adalah X dan Z. Kami bertemu di kafe yang kudirikan bersama temanku yang lain. Pada bulan April 2020, Covid-19 mewabah ke Indonesia. Ekonomi sempat kacau, perdagangan tersendat, transportasi berhenti, dsb. Tentu ini dapat menimbulkan “kepanikan massal”.

Merespon hal tersebut, kami berinisiatif untuk mencoret-coret di pusat kota, mulai dari pasar, bank, pos polisi, jembatan layang, dan tembok kosong lainnya. Usai kami berpesta alkohol, kami memutuskan bergerak untuk melakukan vandal tersebut, seingatku itu sekitar jam satu dini hari. Kami sudah bergerak dengan sekuritas yang kami rasa cukup, wajah kami tertutup, pelat nomor kami tertutup, jalur yang kami lalui dari berangkat sampai pulang pun berbeda. Kira-kira berjarak sekitar 15 – 20 menit dari kafe tempat kami istirahat.

Aku yang agak parno awalnya hanya membonceng kedua temanku tersebut, walaupun pada akhirnya aku juga gatal untuk mencoret-coret. Beberapa kata yang kami tulis adalah : “Sudah Krisis Saatnya Membakar”, “Kapitalisme Adalah Virus”, “Eat The Rich”, “Mati atau Melawan”, “ACAB”, “Negara Kontol” (yang ini tidak ketahuan). Lalu, kami pulang jam dua pagi, seingatku bahkan tidak sampai satu jam. Kami menginap di kafe tersebut.

Siang harinya saat kami bangun, salah satu kawanku si Z berkata bahwa ia mencurigai orang yang nongkrong di depan kafe (kebetulan ada tukang tambal ban di situ), sebagai Intel. Namun, aku tidak memercayainya dan memilih untuk melanjutkan obrolan. Suara kawanku X memang cukup keras untuk membicarakan hal-hal politik, namun aku masih merasa aman waktu itu. Hingga pada akhirnya, usai maghrib kami didatangi 3 mobil, dan kurang lebih 10 motor. Mereka semua polisi. Aku yang masih di belakang panik, dan membereskan sisa ganja yang untungnya sudah tidak ada lagi.

Kami berdebat, lalu kedua temanku ditangkap. Ditambah lagi ada my ex yang tidak terlibat dalam hal ini, walaupun punya kontribusi. Awalnya ada teman lain yang datang, namun dengan spontan kami “melepehnya” (melepeh sama dengan mengelak bahwa dia tidak terlibat), walaupun sebenarnya dia juga ikut dalam aksi yang kami lakukan. Setelah perdebatan, kawanku si X dipukuli karena memberontak. Aku melakukan persuasif yang berujung dengan ditodong M4A1 alias Karabin, yang langsung dikokang ke depan wajahku. Semua barang kami digeledah, dirampas, dan diborgol, bahkan motorku yang tidak ada kaitannya ikut dibawa entah kenapa.

Percayalah, aku tahu banyak kawan-kawan yang sudah menerapkan sekuritas atau bagaimana caranya berhadapan dengan polisi. Namun, itu hanya teori. Di lapangan, mental kalian sendiri yang akan diuji dan terlihat.

Akhirnya, kami berempat dibawa ke kantor polisi. Di sana kami dipukuli, ditodong beragam pertanyaan, dipermalukan, difoto (foto wajah dan KTP kami disebar di sosial media tanpa sensor), khususnya kami bertiga yang laki-laki. Usai itu, kami dipindah ke “Sel Anjing”, sel yang memang sebesar kandang anjing bulldog. Kami bertiga sempit-sempitan dan kencing di sana. Beruntungnya, my ex memiliki dua ponsel, yang satu diserahkan untuk disita dan yang satu lagi ia simpan di perut yang kebetulan tidak diperiksa. Ia ditempatkan tidak di dalam sel anjing tersebut, tetapi di depan pagarnya. Itu pun masih ada pagar lagi setelahnya. Istilah penjara ini disebut “Double Slot”, atau dibalik pintu ada pintu lagi.

Aku mengabari beberapa kawan untuk menghubungi bantuan hukum. Setelah itu, kami dipisahkan satu per satu untuk di BAP (Berita Acara Pemeriksaan) kembali. Itu pertemuan terakhirku dengan my ex. Ternyata, setelah itu kami di BAP kembali oleh institusi yang lebih besar yang akan aku singkat menjadi PMJ. Tentu kalian tahu, kantornya sangat besar ada di Jakarta. Setelah diinterogasi lagi, satu per satu dari kami mulai disiksa secara fisik, mulai dari dipukuli, disetrum, dibakar tangannya dengan hand sanitizer lalu kepala kami ditutupi berlapis-lapis kantong plastik hingga tidak bisa bernapas.

Beruntungnya waktu itu, aku tidak memegang ponsel sama sekali, jadi koneksi di jaringan yang aku miliki tetap aman. Kecuali kedua kawanku itu yang ponselnya dibongkar-bongkar. Beruntungnya lagi, beberapa akun propaganda yang waktu itu aku mainkan sudah berhasil dinonaktifkan saat aku menghubungi beberapa teman lewat my ex, dan dia dibebaskan malam itu karena terbukti tidak terlibat.

Setelah itu kami dibawa ke rumah masing-masing. Aku yang sebenarnya tinggal di dua tempat (rumah keluarga KTP dan rumah bibi) lebih sering tinggal di rumah bibiku karena lebih dekat untuk bekerja dan berkuliah kala itu. Di sana, aku menyimpan berbagai poster, bendera, buku, dan sebagainya yang dapat menjadi bukti bahwa aku benar adalah seorang “Anarkis”. Tuduhan polisi saat itu memang begitu. Karena polisi melihat logo A yang kami buat dalam aksi vandalisme, mereka berkali-kali menggali informasi tentang anarkisme dari kami. Ditambah lagi pakaian temanku yang ada logo Antifa (anti-fasis).

Di tahun-tahun sebelumnya, para anarkis memang menjadi sasaran empuk beberapa pihak termasuk negara. Dan yang paling membuat kami selalu disiksa adalah kepemilikan sejumlah uang yang cukup banyak yang dimiliki oleh X, padahal itu memang uang pribadi. Mereka ingin mengarahkan bahwa kami diperintahkan seseorang dan dibayar. Namun, memang sebenarnya kami tidak dipimpin siapa pun dan tidak dibayar sepeser pun. Bahkan kami malah mengeluarkan uang untuk membeli pylox, print, dan mabuk.

Ini adalah hal penting yang aku anggap sebagai kecerdikan dan keberuntungan: aku menggiring polisi menuju rumah yang tertera di KTP. Sesampainya di sana, semua orang rumah kaget. Aku tunjukkan kamarku yang kosong dan hanya beranggotakan baju saja. Aku merasa lega bahwa polisi tidak menemukan barang bukti untuk menguatkan pasal tersebut. Namun, tanteku keceplosan mengatakan bahwa aku sekarang tinggal di rumah bibiku (panik lah aku waktu itu). Beruntungnya, kakakku ternyata sudah ke rumah bibiku untuk membereskan buku, poster, bendera, dan beberapa alat demonstrasi. Polisi bilang, “Bangsat! Kenapa lo gak ngomong dari awal? ‘Kan jadi muter-muter.” Lalu, aku jawab dengan polos, “Bapak ‘kan nanya alamat saya, ya itu alamat saya, sesuai KTP.”

Sesampainya di rumah bibiku, kamarku sudah bersih, dan ada kakakku di sana. Bibiku menangis tanpa henti. Namun, polisi tetap tak peduli. Akhirnya, dibawalah aku menuju PMJ dengan mobil 4×4. Mereka mengenakan senjata lengkap, dan aku dikawal dengan ketat. Sungguh, seperti teroris kelas kakap. Dan aku juga ingat bahwa kami bertiga sempat melantunkan lagu Bella Ciao sebelum dibawa ke PMJ.

Bukan main kagetnya, kami dibawa ke divisi “Keamanan Negara”. Simbolnya persis seperti simbol FBI. Aku berpikir ulang, apa iya aku seberbahaya ini? Kami dipisah dengan unit yang berbeda dan di BAP ulang.

Ini adalah tips untuk kalian para anarkis jika ditanya keterlibatan kalian dalam gerakan anarkis oleh polisi, dan ini pengalaman pribadiku:

Sewaktu ditanya soal apa itu anarki, apa itu anarko, dan kamu terlibat apa di sana, aku menjawab dengan begitu sederhana dan polos. Aku mengatakan bahwa “aku mengenal anarko dari acara musik punk di Jakarta, waktu itu aku menonton band punk Marjinal, dan melihat logo A bundar di sana. Dari situ, aku terinspirasi untuk menggali anarkisme.” Dan aku juga menjawab bahwa “arti dari anarki adalah kebebasan.” Intinya, aku memberi informasi tanpa memberi informasi yang sebenarnya. Aku mengarahkan pembicaraan kepada musik punk ala Marjinal yang sebenarnya aku tidak suka.

Dan juga, saat kami berada di Sel Anjing, sebelum kami diinterogasi lebih lanjut, aku membuat sebuah siasat. Aku sepakat dengan teman-temanku untuk mengatakan bahwa kami berkenalan dan bertemu di Gunung Gede Pangrango dalam sebuah pendakian, menyukai lingkungan hidup, poros kami adalah “Greenpeace”, kami suka nongkrong di angkringan pinggir jalan di Jakarta, dan hanya membicarakan isu lingkungan hidup. Intinya, kami adalah pecinta alam.

Ternyata, jawaban dan siasatku dalam menghadapi BAP berhasil. Polisi percaya dengan apa yang aku katakan, walaupun aku tidak tahu kedua temanku bagaimana. Namun, kembali lagi polisi menekanku soal “Pendanaan Aksi” dan “Keterlibatan dalam May Day” yang kali ini lewat jalur persuasif dengan cara menghasut keluargaku untuk datang dan menanyakanku.

Alhasil, aku jawab dengan simple, “Saya tidak tahu soal uang, saya memang benar pernah ikut May Day, namun saya ikut bersama kampus dan almamater. Saya memang pernah melihat gerombolan orang menggunakan penuh wajah dan serba hitam dalam aksi buruh. Namun, sepertinya mereka hanya menjadi tameng bagi para serikat buruh. Jadi, jika bapak bertanya soal pendanaan, ada baiknya bapak tanyakan kepada serikat buruh berhaluan Marxis atau sejenisnya. Mereka ‘kan organisasi besar dan pastinya punya uang. Bisa jadi mereka memberi X uang, tetapi saya tidak tahu pasti.”

Mendengar perkataanku, salah satu polisi kaget dan mengatakan, “Mohon maaf apa si ……….. terlibat?” Lalu, aku jawab, “Saya tidak tahu, silakan bapak tanya ke serikat buruh yang sangat besar itu.”

Lalu, mengapa aku mengatakan hal ini? Di penjara, hal ini disebut sebagai “Kayu Mati”, atau “Menggigit Kayu Mati”. Artinya, informasi yang kamu berikan akan berhenti di situ dan tidak melebar ke mana-mana lagi. Aku sudah kooperatif memberi informasi yang aku tahu walaupun itu palsu, dan ini juga adalah bentuk perlawananku terhadap ide Marxisme. Ini adalah total kesinisanku terhadap para serikat buruh yang diam-diam elitis tersebut dan sering kali memperalat para anarkis. Bagiku, kalaupun polisi menangkap mereka, tidak ada bukti yang cukup. Lagi pula, mereka terlihat menjalin hubungan dengan kepolisian. Hal ini bisa terlihat dari ekspresi wajah pak polisi yang mendengar pernyataanku. Mereka juga punya bantuan hukum dan terjamin dalam hal itu. Berbeda dengan kami yang hanya individu dan tidak memiliki ikatan erat dengan bantuan hukum.

Dalam proses penyidikan, barang bukti yang memberatkan kami adalah barang milik Z, antara lain golok (yang sebenarnya pajangan di rumah), buku, zine, dan beberapa buku milik X. Bahkan buku Eka Kurniawan bersampul gambar molotov sempat dilarang beredar waktu itu.

Dan Barang buktiku apa? Tidak ada.

Setelah itu, kami di press release dimasukkan sebagai berita, menjadi highlight dan viral se-Indonesia. Aku tahu dari mana? Tentu saja dari ponsel yang aku gunakan di dalam sel tahanan PMJ. Awal kami dibawa ke sel tahanan PMJ, kami dijual secara terang-terangan, dengan harga satu juta rupiah per kepala, temanku si Z dipindah ke sel tahanan karena aku juga baru tahu bahwa dia belum genap 17 tahun.

Selama di PMJ, satu orang lagi ditahan akibat pengembangan kasus. Saat itu, ponsel X diperiksa sehingga terseret S. Dan anehnya, ada satu lagi orang necis yang ternyata adalah anggota grup Telegram anarkis yang berada di dalam ponsel X, sebut saja namanya adalah S. Dia yang ternyata mahasiswa, orang kaya raya, memiliki backing di dalam pemerintahan sebab orang tuanya adalah seorang jurnalis di Dewan……… Kalian tahu sendiri kan maksudku wkwkwkw.

Kami bertiga dipisah kamar. Aku awalnya cukup tegang, karena begitu masuk pintu blok sel, wajah garang para tahanan blok kriminal terpampang dengan sangat jelas. Sambil aku mengucap salam dan masuk ke dalam kamar, ucapanku dibalas dengan hantaman dan tendangan beberapa orang. Pemukulan itu berakhir dengan “Hubungi keluarga dan minta uang lima juta, lu di sini udah gua beli satu juta, jadi harus balik lima juta”, ucap seorang “Brengos” (sebutan untuk eksekutor intimidasi di penjara) serta kepala kamar. Akhirnya, aku menghubungi keluarga namun sayangnya, uang tidak ada. Beruntungnya aku bisa meminta beberapa kawan dan aku cicil beberapa hari dan tembuslah uang kurang lebih dua juta, setelah itu tidak diminta lagi (karena aku bermain politik di dalam kamar, aku tahu siapa yang harus dekati, dan aku tahu cara menghindari perasaan tersebut dengan persuasif). Berbeda denganku, temanku X lebih parah nasibnya. Rambutnya dipotong acak-acakan, dipukuli hampir setiap saat, dan tembuslah uang dua atau tiga juga. Setelah itu, kami beradaptasi perlahan.

Kamarku bisa dikatakan sebagai kamar tamping (tahanan pendamping), yaitu tahanan yang bekerja untuk petugas mulai dari bersih-bersih, administrasi, hingga pengantaran besukan. Di PMJ, kami sempat berjualan es dan gorengan untuk kebutuhan kami. Berbeda dengan si S yang akhirnya berkenalan denganku dan X, dia masih rutin mendapat kunjungan, kiriman uang, dan uang kamar yang dibayar olehnya yang tembus sampai sepuluh juta, itu pun tanpa wajah atau badannya tersenggol sedikit pun. Ternyata ia benar-benar penakut. Seiring berjalannya waktu, aku mengetahui bahwa si S ini membongkar nama-nama teman dan beberapa akun propaganda serta domisilinya kepada polisi. Ia membocorkan banyak rahasia penting dan bahkan tanpa dipukul sedikit pun, benar-benar tidak disenggol dan kelewat kooperatif.

Setelah 40 hari, kami dipindah ke kantor polisi pusat Tangerang. Di sana, aku sudah siap untuk dipukuli lagi jika itu terjadi dan tidak akan ada uang yang keluar. Istilahnya adalah “Baju udah kering mau lu peres gimana pun gak akan keluar airnya.”

Kami kembali masuk sel tahanan, yang kali ini lebih kecil dan 24 jam di kunci. Berbeda dengan PMJ yang jam 8 pagi sampai sore kita bisa jalan di lorong-lorong, lapangan, dan pintu bisa dibuka sesuai hati. Ternyata aku bertemu teman lama (teman bermain ganja), dan bahkan aku masuk ke dalam yang lainnya berisi temanku yang berbeda lagi. Kami saling mengenal karena ganja dan musik. Di luar dugaan, seisi kamar menyambutku, dan begitu aku jabarkan aku siapa dan tinggal di mana, ada sedikit rasa segan di dalam diri mereka. Tentu saja karena Tangerang adalah rumahku sendiri, dan ini adalah privilesenya. X aku titipkan di kamar sebelah, aku minta tolong untuk dia tidak dicolek (dipukuli).

Ruangan sel ini sangat sempit dan diisi 16 orang. Kami tidur bergantian. Merokok sembunyi-sembunyi (ada CCTV), menjemur pakaian di dalam ruangan, dan diam-diam penghuni kamar patungan untuk menghisap sabu-sabu. Salah satu tahanan di kamarku adalah seorang polisi yang ditangkap karena memiliki sabu dan ganja. Luar biasanya adalah dia hanya di vonis 6 bulan dan dinyatakan sebagai penyalahguna yang direhabilitasi. Usut punya usut, dia menghabiskan banyak uang untuk membayar hukuman tersebut dan membeli pasal 127 (pasal penyalahguna narkotika). Aku adalah tahanan kriminal di antara para tahanan narkoba. Namun, aku lebih menyukainya. Daripada bersama tahanan kriminal yang terkadang lebih licik untuk mencari untung. Misalnya, akun Instagram si X dibajak untuk meminta-minta uang saat di PMJ. Tapi pada dasarnya licik atau tidaknya, pengguna sabu-sabu sama saja liciknya dengan para kriminal. Ini semua akan terlihat di “Kapal Besar” atau Lembaga Pemasyarakatan.

Empat bulan lebih kami terkurung di sana, aku mendapatkan jaringan narkotika yang besar dan pindah ke kamar mereka sebagai pembantu dan penghibur mereka. Mereka senang dengan cerita anak muda dan sikapku terhadap mereka. Dan jujur saja, aku cukup kagum dengan gerombolan bandar sabu 4 kg yang dihukum 15 tahun saja. Kalau kalian tahu kasus-kasus sabu dengan barang bukti yang banyak, hukuman mati atau seumur hidup tidak mustahil untuk mereka terima. Bisa dibayangkan berapa uang yang dihabiskan, bukan?

Transaksi sabu tetap berjalan di sana walaupun hanya menggunakan sedikit ponsel Android dan lebih sering dengan ponsel untuk SMS dan telepon saja (ponsel tulalit). Dan selalu ada satu orang yang menjadi mata-mata dengan istilah “GM”, atau gambar. Tugasnya memantau petugas dengan cermin dibalik jeruji, walaupun petugas sebetulnya tahu, tetapi ada larangan tak tertulis. Mereka tahu tapi pura-pura tidak tahu, dan mereka tidak ingin melihat pelanggaran di depan mata mereka. Jadi, ketika kita bermain ponsel jika ada petugas, disembunyikan dulu. Begitu juga dengan kegiatan nyabu, walaupun mereka tahu, dan mendapat jatah preman dari hal itu. Justru pelanggaran-pelanggaran inilah yang menghidupi para petugas, karena akan selalu ada uang 86 (uang sogok).

Ternyata kawanku Z yang dibawah umur juga dibawa ke Tangerang dan dipindah ke Lapas lebih dulu dan divonis 4 bulan penjara saja. Dan anehnya lagi, entah dari mana dia bersama paketan (orang lain dalam kasus yang satu rentetan), ternyata ada anak dibawah umur lain yang juga ditangkap yang satu perkara dengan kami.

Kami disidang kira-kira sampai 20 kali. Banyak sekali tahapan sidang yang kami lalui, ini juga karena bantuan hukum yang kami dapatkan memang lembaga profesional dan tidak perlu diragukan dalam urusan politik. Alhasil, setiap dua minggu sekali aku ke gedung sidang, bertemu keluarga, my ex yang waktu itu masih mengurusku, serta teman-teman.

Pengacara mengajukan Eksepsi kepada majelis hakim karena kami harusnya melanggar pasal 170 (perusakan fasilitas umum), bukan sebagai provokator. Karena pasal 160 tidak bisa disangkakan jika kerusuhan itu tidak terjadi. Dan menurut Mahkamah Agung, pasal tersebut juga sudah tidak digunakan karena itu undang-undang darurat tahun 1945 yang digunakan pada masa pasca perang.

Bahkan pengacara membawa saksi ahli, seorang Master atau Doktor aku lupa, dia mengajar dan ahli hukum di Universitas Indonesia. Dia menjelaskan dengan sangat jelas perihal pasal tersebut, melebihi pengetahuan hakim dan jaksa (bahkan jaksa mencatat dan memperhatikan setiap penjelasan saksi ahli seperti sedang kuliah, begitu juga hakim). Dan juga saksi ahli dalam bidang HAM yaitu Hariz Azhar, yang namanya sangat populer di kancah politik.

Walaupun pada akhirnya kami dijatuhkan pasal 14 dan 15 tentang penyebaran berita hoax, disamakan dengan kasus Ratna Sarumpaet. Ingat, jangan pernah berharap pada pengadilan bahwa mereka akan adil. Aku dan X divonis 10 bulan pidana, sedangkan S divonis 8 bulan pidana. Setelah sidang, aku mengetahui dari ibuku bahwa mereka diminta sejumlah uang untuk mengurangi hukuman. Ini sudah umum di antara para tahanan. Biasanya mereka menyebutnya dengan “Main”, “Main Jaksa”, “Main Hakim”, atau “Nyiram”, “Nyiram Jaksa atau Hakim”, dsb. Di sini, aku merasakan dan melihat sendiri bahwa di hadapan hukum, uang adalah segalanya, dan para hakim jaksa adalah orang munafik.

Sebenarnya sesuatu yang kami lakukan ini hanya spontanitas belaka usai kami menenggak alkohol dan menghisap ganja. Saranku untuk teman-teman, kendalikan spontanitas kalian, bergeraklah seliar mungkin jika itu terasa aman, dan tetaplah jaga sekuritas. Tapi jangan pernah lupa juga bahwa negara itu bukan lawan yang enteng. Bersiaplah selalu untuk ada di posisi terburuk, misalnya jika tertangkap usai membakar pos polisi meskipun sudah bergerak seperti ninja. Tapi jangan takut juga. Aksi-aksi spontanitas semacam itu tidak akan membuat kalian berlama-lama di dalam penjara. Aku dan rekan-rekanku hanya menjalani 7 bulan hukuman saja, walaupun dengan ancaman yang begitu menyeramkan (10 tahun). Di Indonesia saat ini kriminalitas bukanlah urgensi seperti halnya narkotika, jadi jika Anda muak dan mentok, aku sudah memberitahunya.

Pengakuan kami soal siksaan dari polisi sama sekali tidak digubris pengadilan. Mereka mengatakan bahwa itu adalah ranah pengadilan polisi dan jika ingin melapor ke kantor PROPAM, bukan di pengadilan negeri. Gila, bukan? Bisa kalian bayangkan, rentetan satu-kesatuan institusi ini memang semuanya bekerja sama. Mulai dari polisi hingga penyidik yang seharusnya memberi pasal dengan kesesuaian hukum dan apa yang diperbuat pelaku. Namun, sering kali mereka menggunakan pasal yang memberatkan. Misalnya, para pengguna atau pemakai sabu / ganja, akan dikenakan pasal 111, 112, atau 114. Aku akan jabarkan isinya sebagai berikut :

Pasal 111 ayat 1

Setiap orang yang tanpa hak atau melawan hukum menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan Narkotika Golongan I dalam bentuk tanaman dipidana dengan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun.

Pasal 112 ayat 1

Setiap orang yang tidak mempunyai hak ataupun melawan hukum memiliki, menyimpan bahkan menyediakan narkotika golongan 1 bukan tanaman. Maka akan dipidanakan paling minimal 4 tahun dan maksimal 12 tahun dengan denda mulai 800 juta hingga 8 miliar.

Pasal 114 ayat 1

Menawarkan untuk dijual, menjual, membeli atau sebagai perantara.

Pasal 127 ayat 1

Narkotika Golongan I bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun;

Narkotika Golongan II bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun; dan

Narkotika Golongan III bagi diri sendiri dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun.

Namun apabila penyalahguna terbukti sebagai korban penyalahgunaan narkoba, maka ia wajib menjalani rehabilitasi, hal tersebut selaras dengan Pasal 127 ayat (3) “Dalam hal Penyalahguna sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalahguna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.

Dan polisi khususnya penyidik tidak pernah melakukan penegakan hukum dengan benar sesuai dengan SEMA (Surat Edaran Mahkamah Agung)

Dalam proses pengajuan rehabilitasi, penyidik harus memperhatikan Surat Edaran (SE) Mahkamah Agung (MA) tentang limitasi barang bukti saat pelaku ditangkap, dengan barang bukti di bawah 1 gram sabu dan ganja di bawah 5 gram.

Lewat pasal-pasal ini kita ditindas terang-terangan dengan “Politik Bahasa”. Para pecandu ganja dan sabu, berapapun barang bukti yang mereka miliki, akan dikenakan pasal 111 / 112 / 114. Pasal 111 khusus tanaman, pasal 112 non-tanaman, dan pasal 114 adalah pengedaran kedua hal tersebut (narkotika golongan 1).

Intinya, tidak ada bedanya antara ketiga pasal itu karena dalam kalimatnya ditulis memiliki, menguasai, dan menyimpan. Tentu saja siapa pun akan melakukan tiga hal ini dalam narkotika. Misalnya, aku membeli ganja dari A, dia lalu memberikan kepadaku, secara otomatis aku sudah MEMILIKIMENGUASAI dan MENYIMPAN. Pasti aku simpan karena itu barang ilegal. Padahal setiap orang memiliki tujuan berbeda dengan narkoba tersebut. Seorang pemakai murni tentu saja melakukan ketiga hal itu, dan ketiga kalimat itu masuk dalam ketiga pasal karet ini, yang intinya adalah mengatakan bahwa setiap orang yang kena pasal ini adalah “Pengedar Narkoba”. Hal ini sejalan dengan pemerintah Jokowi yang katanya “perang melawan narkoba”, dan dia berhasil membuat polisi menangkap “Para Bandar Narkoba Jadi-jadian ini”.

Tidak hanya itu, pasal 127, yang sebenarnya bukan sepenuhnya rehabilitasi, banyak kasus yang terdakwa di tahanan juga dipenjara, hanya saja waktunya lebih singkat. Dari 6 bulan sampai maksimal 4 tahun. Dan pasal ini ADALAH BARANG DAGANGAN TERLARIS YANG DIJUAL OLEH POLISI.

Pernah kalian berpikir kenapa para selebriti dan orang kaya yang kedapatan menggunakan narkoba di rehabilitasi? Tentu saja karena uang, dan pengalamanku sendiri pun juga begitu.

Ketika aku sampai di Lapas Tangerang melewati pintu besar, aku sudah disambut oleh rekan-rekan dari keluargaku. Aku diberikan rokok dan makanan, bahkan bisa hampir setiap hari membakar ganja untuk menghilangkan depresiku. Dan ganja sangat membantu kala itu.

Tidak sampai sebulan, kami bertiga sudah bebas dengan mengurus remisi CMB (Cuti Menjelang Bebas). Si S yang pidananya hanya 8 bulan, pulang berbarengan denganku dan X yang dipidana 10 bulan. Bahkan aku juga baru tahu selama di tahanan polisi Tangerang, S diminta uang tujuh juta. Ketika aku katakan kepadanya, “Lo mau uang Lo balik di sini gak? Orangnya di Blok B, bisa gua urus itu.” Dia menjawab, “Udah gak usah gua ikhlas.” Andai orang-orang yang memerasku ketika di PMJ berada di Lapas-lapas Jakarta ada di sini, aku bisa membalaskan dendam. Meskipun pada akhirnya aku melupakan hal itu.

Setiap malam, aku menghisap ganja di Lapas, dan teman-teman lain terkadang aku belikan sabu-sabu karena mereka tidak doyan ganja. Ponsel tersedia dan tinggal digunakan. Makan dan rokok semua terjamin. Andai Covid-19 cepat berakhir, aku bisa cepat pindah ke Lapas ketimbang di tahanan polisi terkurung terus.

Ada begitu banyak pilihan apotik (sebutan untuk kamar bandar) yang tersebar di lapas tersebut. Bisa memakai sabu-sabu di tempat atau dibawa ke kamar. Setiap ada petugas lewat, kita hanya perlu memberikan beberapa lembar uang dan rokok, setelah itu santai saja. Musik dengan sound system dan bahkan laptop atau alat DJ pun tersedia. Semua ini tergantung kemampuan finansial para bandar. Intinya, narkoba dijual bebas dengan harga yang cukup murah.

Singkat kata, akhirnya aku bebas dan melanjutkan hidup di Malang. Namun, aku kembali masuk penjara dengan pasal 111 tersebut, pasal yang aku sebelumnya sudah ketahui, dan inilah ketakutan terbesarku sebenarnya. Bagi kalian yang mengonsumsi ganja, kalian tentu bisa memahami alasanku menggunakannya. Untuk kalian yang tidak mengerti, jangan beri penghakiman kepada pengguna bahkan bandar narkoba. Mereka adalah orang-orang yang teralienasi dari masyarakat. Mereka memilih jalan ini karena banyak sebab: kemiskinan, kurangnya pendidikan, lingkungan yang buruk, depresi, dan sebagainya. Intinya, para pengguna narkotika adalah orang-orang sakit yang butuh pertolongan dan dukungan, itulah yang sesungguhnya terjadi. Tapi negara dan masyarakat menganggap kami ini penjahat. Padahal kami tidak merugikan siapa pun kecuali diri sendiri dan keluarga (kalau tertangkap). Dan kami juga tidak punya masa depan karena ditangkap. Hukuman narkotika sangat lama, minimal 4 tahun, walaupun itu bisa dipotong remisi. Tapi bayangkan saja, sudah teralienasi maka akan semakin dialienasi.

Negara tidak sanggup dan tidak mau mengurus masalah ini, sebab mereka juga yang ada dibalik bisnis ini. Mereka untung dari narkoba, dan inilah bisnis gelap mereka. Sebanyak apa pun bandar narkoba ditangkap, narkoba tetap ada. Bahkan para Buser dan polisi sendiri menjebak orang-orang, menggunakan sabu sesuka hati, mengambil sabu gratis dari para tahanan, bahkan menjual dan mengedarkan. Ini rahasia umum!

Para pecandu narkoba yang disatukan dengan bandar, kurir, dan sebagainya akan membentuk masyarakat narkoba dengan sendirinya, karena di sana ada supply and demand. Ada yang membutuhkan dan ada yang menyediakan. Dengan kondisi penjara yang menghancurkan psikologis para pecandu, usaha negara untuk membuat pecandu jera justru sia-sia bahkan berbalik. Para pecandu kini sudah memiliki jaringan bahkan pelanggan di luar semenjak mereka masuk penjara. Jaringan mereka melebar. Mereka bukan hanya sekedar pemakai, tapi juga pengedar. Inilah karier narkotika yang dipelihara oleh negara. Semakin lama orang dipenjara, tentu semakin banyak kebutuhan yang ia butuhkan, misalnya uang. Ia butuh uang untuk makan, merokok, membeli kasur dan bantal, membayar iuran kamar, membayar uang ini itu, membeli kebutuhan kebersihan pribadi dsb., dan negara tidak memberikan itu.

Selama perjalananku menempuh tahanan polisi dan Lapas yang berbeda, tidak ada makanan yang layak, terkhusus di Lapas. Mulai dari nasi yang tidak layak dan sedikit (berkerikil, berpasir, keras, kadang berwarna agak oranye), begitu pula dengan lauknya, yang tidak pernah dimasak sampai matang. Sangat sedikit dan benar-benar tidak layak. Biasanya lauk ini harus diolah kembali, entah digoreng atau direbus kembali, diberi perasa dsb. Dan semua ini membutuhkan uang. Kalian pikir harga kebutuhan di penjara murah? Bisa 2–5 kali lipat harganya ketimbang di luar. Satu bungkus rokok Alami Tulungagung yang dijual di luar dengan harga delapan ribu, di sini mencapai lima belas ribu. Satu contoh itu saja, sisanya kalian bayangkan sendiri harga barang lain.

Maka dari itu para pecandu beralih menjadi pengedar untuk bertahan hidup. Para petarung bertugas menjadi penagih hutang di dalam penjara atau biasa disebut BNN (Bagian Nagih-Nagih). Para penipu menipu sesama napi atau orang di luar. Para bandar berjualan narkoba di dalam dan di luar. Para koruptor menyamankan kamar mereka dan berbisnis. Para pencuri mencuri barang sesama napi atau petugas. Intinya, di dalam penjara memiliki sirkulasi kehidupan sendiri. Penjara adalah miniatur negara, atau negara dalam negara.

Bisa dibayangkan, bukan? Kita yang sudah hidup dalam negara saja merasa sangat terbatas, apalagi yang hidup dalam miniatur negara.

Perputaran ekonomi terus terjadi dengan berbagai cara. Petugas berjualan makanan dan melarang napi berjualan, koperasi kapitalis berdiri megah di setiap penjara di Indonesia, petugas mendapat untung dari setiap peredaran gelap narkotika dan mereka mendapat untung dari memeras setiap kamar dengan alasan yang kadang tidak jelas. Intinya, selama Anda memiliki uang dan akses, Anda akan hidup aman. Sebagai gantinya, petugas akan memberi fasilitas yang sebenarnya dilarang, ponsel misalnya.

Aku sangat menganjurkan kepada teman-teman yang aktif dalam ranah pergerakan akar rumput, pegiat sosial, para anti-fasis, anarkis, anti-otoritarian, pegiat seni dan musik, mahasiswa, pelajar, pengguna aktif obat-obatan, sabu, ganja, untuk mulai dari sekarang mempelajari hukum dan pasal yang berkaitan dengan aktivitas kalian. Jika kalian anarkis, kalian harus tahu pasal yang berkaitan dengan hal itu, misalnya pasal 160. Atau jika kalian pengguna sabu, kalian harus paham apa itu pasal 112.

Kita harus membekali diri kita sendiri dengan hal ini, sebab BUTA HUKUM ITU MEMBUNUHMU. Sekuritas saja tidak cukup. Kita harus melek terhadap hukum agar dapat mengantisipasi jika saja hal buruk terjadi.

Dan saran juga dariku adalah, jangan pernah memikirkan orang lain yang berada di luar, misalnya teman, sahabat, kekasih, bahkan istri atau suami. Jangan pernah berharap temanmu akan terus mendampingi atau bahkan peduli denganmu, jangan pernah berharap kekasihmu akan setia menunggumu, jangan kaget jika ia pergi, kuatkanlah hati juga jika suami atau istrimu melayangkan surat cerai. Menunggu seorang pesakitan itu sangat sulit dan mengacaukan pikiran, termasuk jika Anda memikirkan orang-orang tersebut di dalam sel. Memang tidak mungkin tidak terpikirkan, namun pasanglah border di hati dan pikiranmu bahwa mereka tetap orang lain yang suatu saat bisa melukaimu, sebaik dan sebesar apa pun cinta mereka. Dari pengalamanku, hanya keluarga yang sanggup melalui hal ini, misalnya ayah dan ibu aku, dari penjara aku mengetahui bahwa cinta mereka tidak terbatas ruang dan waktu, sungguh aku sangat bersyukur akan hal ini, mereka tidak meninggalkan aku sedikit pun.

Jadi, itulah sedikit cerita dari pengalamanku. Intinya, penjara, negara, hukum, hakim, jaksa, polisi dan segala instrumen negara adalah brengsek dan menindas.

Saat ini, aku tengah berjuang mengajukan kasusku menuju Mahkamah Agung untuk mendapat hukuman yang sesuai, bukan hukuman 6 tahun yang dipidanakan kepadaku.

Dalam keterbatasan, aku sempatkan untuk menulis ini, dan akan terus menulis dengan bentuk-bentuk yang lain. Dan dalam keterbatasan ini, aku dapat menghasilkan karya, dan akan terus menghasilkan karya yang mewarnai setiap musik dan lirik yang aku buat.

Penjara memberitahuku bahwa aku adalah Empunya diri sendiri. Bahwa aku adalah manusia merdeka, dan bahwa aku adalah pembangkang di mata negara yang tidak merugikan sesama warga sipil.

FUCK THE STATE. FUCK THE PRISON.


Posted

in

by

Tags: