Dan demi senar-senar yang meregang di tubuh gitar
Menitipkan rindu lewat nada dan lagu-lagu
Biar hingar bingar terdengar dari perut-perut lapar
Sampaikanlah ayat juga risalah yang tersemat dari tubuh-tubuh lelah
Dan demi karung-karung yang menggantung di punggung cekung
Kirimkanlah cinta dari hamba yang menjadi sahaya
Bahwa derita yang mendera terus menjadi samsara
Memupuk akar pada pagar-pagar di setiap pasar
Dan demi kolong juga lorong dan gorong-gorong
Berharap terlindungi dari panas yang ganas
Di pinggir sungai permai ribuan perangai begitu lunglai
Amparkan kardus lantas tidur maknyus sampai mampus!
Dan demi tanah air yang kita banggakan
Kami terlahir tanpa tanah tanpa air, apalagi rumah
Di tengah hingar-bingar setiap hari hidup terus di kejar-kejar
Lantas dibawa ke kantor karena dianggap kotor
Demi kotamu yang indah, kami dianggap sampah!
.
—kel(A)na
Jakarta, 2016