Tiada Individu yang terlahir Tanpa Dosa: Serangan atas Kelas-Kelas, (Nihilism)

Kritis. Demikian kondisi kekinian (ikut mengambil tren bahasa akan istilah ini) yang penuh paradoks. Kita memulai langkah pembahasan ini, di mana pada awal saja sudah cukup lelah mencari ujung benang kusut dari kompleksitas masyarakat kita.

Pada awalnya begitu mengherankan, memperhatikan nampak begitu santainya kelas menengah dalam situasi penindasan. Nyatanya, saya salah. Kelompok ini walau terbelenggu kekerasan dari penghisapan, mati rasa, nyatanya lebih tepat dijebak dalam kondisi terbuai oleh ilusi (spectacle) hedonisme yang dihembuskan dengan bius kuasa modal.

Budaya Pop

Sahih! Budaya populer menghipnotis jauh dari hanya sebatas indra merasuki rasa, dimensi jiwa. Memangsa esensi kemanusiaan pada kelas yang tersesat ini. Konsumsi tak pernah mengenal batas, ia akan terus hadir, bahkan cenderung meningkat selama individu memiliki uang untuk dibelanjakan. Uang pada rekening bulanan anda yang segitu-gitu saja setiap bulannya, bahkan jika baru saja terjadi kenaikan gaji. Daya turut menunjang, kemampuan kerja dan ratio akan menuntun bahkan dalam situasi bangkrutnya individu sekalipun, menjelajah dimensi cara, menelaah pilihan-pilihan manipulatif demi memuaskan hasrat konsumsi; memburu uang.

Kelas

Kondisi yang tercipta pada akhirnya homo homini lupus. Kelas yang tersegmentasi sub-sub pun memiliki semacam sub-struktur yang saling memangsa, mengeksploitasi mereka yang tak memiliki cukup akses pada sumberdaya. Apakah istilah yang sesuai untuk borjuis yang tak memiliki alat produksi? Pun tanpa kekuasaan di pemerintahan. Kelas yang memiliki atasan, namun juga mendapat gaji yang signifikan dengan pekerja lainnya, berdasarkan apa yang disebut kerja otak, dirancang melalui model pendidikan spesifikasi saat ini; kelas menengah.

Produksi dan Konsumsi

Apatisme muncul tak terbendung, sebagai konsekuensi dari kompetisi keseharian, orang setiap harinya, di pagi hari begitu garang di jalanan perkotaan, menumpuk. Saling maki, salip, melawan arah dan berbalas klakson. Mereka dikejar rutinitas sama setiap harinya, menghabiskan waktu menunggu akhir pekan untuk melepas atau bahkan mendorong konsumsi, ikut serta menopang sistem, membelanjakan uang pada tempat hiburan dan wisata; seperti robot.

Negara

Baru kita berbicara tentang dominasi negara, adalah penting eksistensinya demi menjadi pelindung berseminya kapital. Hegemoni (kukungan kuasa) mereka perlu terus diperkuat, hanya pada kondisi masyarakat yang lemah dan terpecahlah, negara menjadi kuat. Maka negara perlu memastikan dan legitimasi penggunaan dan penguatan alat-alat represifnya. Masyarakat perlu dibuai ilusi identitas, ketimbang mereka mengingat perang kelas, ini membahayakan.

Organisasi Masyarakat Pendukung

Negara perlu berdiri bersama institusi agama guna menebar candunya, mendukung serta membiarkan aksi intoleran dari mayoritas menjaga masyarakat menjauh dari kesatuan kelas proletariat. Sekaligus negara memperoleh legitimasi dengan mengatasnamakan aksi intoleransi tertentu sebagai terorisme (yang mereka ciptakan sendiri dan berikut pendanaannya), drama memuakan dengan skenario seringkali berpelukan dan sesekali bertukar tamparan.

Media

Masih belum cukup, jangan lupakan pilar demokrasi berikutnya; kebebasan pers. Sebuah omongkosong besar yang terjadi pada era perang informasi di dunia digital kini. Kantor berita dimiliki oleh para pebisnis sekaligus politikus pemerintahan, parlemen dan partai. Seberapa meyakinkan netralitas mereka? Seberapa naif kita menginginkan keberpihakan media pada rakyat?

Tambahkan lagi metode teranyar provokasi lewat berita hoax dan foto-foto dibalut kebohongan hasil edit piranti lunak, berikan caption dramatis, lantas saksikan betapa cepat siaran pesan menjadi viral, baik melalui para pendengung berbayar atau dipicu budaya reaksioner yang memandulkan rasionalitas. Bibit-bibit konflik harus terus disemaikan, titik-titik api agar tetap membara walau ditiup angin fakta sekalipun.

Kelas Menengah

Samar-samar dari situasi tersebut terdengar suara tawa dari kelas menengah liberal, kaum intelektualnya berseloroh membodoh-bodohi tayangan yang disusuhkan para relijius. Membuat sarkasme, analisa dan kajian, diskusi publik, agar seolah terlihat kepintarannya. Lalu ada juga yang mengelus dada, seraya dengan teatrikal menjunjung pluralisme, bak malaikat. Sementara lainnya, memilih tutup kuping, dengan argumen lelah akan isu politik, menyerukan untuk berkarya atau menjunjung gaya hidup hedonis belaka; sesungguhnya kalian lelah akan ketidakberdayaan, keterasingan sosial dan kebingungan terjebak dalam kukungan dunia yang kerap disebut akhir sejarah: negara dan kapital.

Tambahkah pula barisan para penyinyir atas ketakmampuan diri mereka untuk berbuat, keinginan melakukan sesuatu yang terhambat. Keberanian yang tersekat.

Kaum Kiri

Kenapa kalian masih terlena dengan romantika masa lalu? Kenapa seolah menihilkan aksi langsung? Apakah tanpa kekerasan akan selalu berhasil?!

Masihkah para kamerad terbuai ilusi massa dari partai? Hingar bingar di Spanyol, Kronstandt, Paris? Ini masa modern! Era kita! Waktu di mana begitu banyak ruang yang semestinya milik kita telah dicuri mereka. Apakah masifnya produksi dan konsumsi telah membenamkan idealisme kalian? Menjadi reformis? Sadarlah kelas pekerja! Bangunlah kaum yang tertindas!

Sementara kamu, ya kamu para Anarkis sekalipun sibuk makin berkutat dalam sektarian dan eklusifisme, kalian lupa akan salah satu langkah menuju tujuan adalah mendekat, merangkul dan membrutalkan massa. Menjadi sekadar katalis untuk mereka menuju kesadaran kelas, bukan justru mencela dan menjauhi mereka; strategis lah.

Tulisan ini tanpa arah dan maksud hanya agar sekadar berdenging di kepalamu, menjadi mimpi buruk yang akan kamu terus coba menyangkalnya.

Panjang umur ketidakpedulian!
Jayalah nihilis!


Posted

in

by

Tags: