Anarkisme, Punk, Pandemi, Otoritas dan Kebebasan

Negara dihuni tanpa aturan. Aturan merupakan penindasan yang harus dilawan karena menciptakan sekat masyarakat. Tujuan akhir dari semua itu aialah menciptakan masyarakat tanpa kelas, ekonomi, dan juga sosial. Itulah gagasan besar dari Anarkisme. Cara mewujudkannya bisa bermacam-macam. Ada yang melalui kekerasan, ada pula lewat kepasifan. Namun, yang sering terlihat adalah dengan cara yang pertama.

Maka, tak perlu heran jika aksi Anarko-Sindikalis yang ada di Indonesia, salah satu varian dari Anarkisme sering berujung pada keributan di sejumlah tempat, seperti Bandung, Jogja, Surabaya, dan Makassar beberapa waktu silam. Selain Sindikalisme, masih banyak varian yang lain, mulai dari berbasis Agama sampai kepada lingkungan.

Apapun itu, semua kembali pada satu hal, seperti yang diungkapkan Mikhail Bakunin dalam satu pidatonya di Asosiasi Pekerja Internasional di Brussels, Belgia pada 1868.

Anarkisme merupakan pola organisasi masyarakat tertua di dunia tentang bagaimana cara mereka bertahan hidup secara kolektif. Meminjam istilah Marx, cara hidup demikian disebut sebagai komune. Konsep ini jauh melampaui sistem kenegaraan yang ada, seperti kerajaan, republik, demokrasi, ataupun Komunis. Anarkisme berorientasi pada kepemilikan alat produksi yang dikuasai masyarakat secara bersama-sama. Dan hasilnya didistribusikan secara merata.

Sekilas, itu tidak ada bedanya dengan konsep Sosialisme. Namun, sebetulnya memiliki perbedaan antara keduanya. Dilihat dari pertentangan antara Marx dengan Bakunin pada 1872 di Asosiasi Pekerja Internasional. Jika marx dengan faksinya percaya bahwa penggunaan sistem negara diperlukan untuk mewujudkan konsep Sosialisme. Sedangkan Bakunin dengan faksinya sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa negara dapat digantikan oleh federasi tempat kerja dan komune yang dikelola oleh kaum pekerja. Oleh karena itu, bagi kaum Anarko, Anarkisme bukanlah ideologi yang masuk dalam garis politik sayap kiri. Karena idologi kiri itu dianggap masuk dalam “Piramida Kenegaraan”.

Sejak Asosiasi Pekerja Internasional tersebut, Anarkisme melebarkan sayap pemikirannya ke berbagai negara, mulai dari Amerika Selatan hingga Asia, tidak terkecuali Indonesia. Di Indonesia sendiri, pelopor gerakan Anarkisme adalah Eduard Douwes Dekker a.k.a Multatuli. Merujuk catatan Anarkis.org, setelahnya, gerakan Anarkisme di Indonesia menggunakan fasilitas media massa sebagai upaya persuasif menyadarkan masyarakat dari penjajahan.

Seperti yang dilakukan oleh Liu Shixin dengan menyunting artikel di surat kabar Sumatera Po di Deli. Adapula Wang Yuting, pendiri surat kabar Anarko-Komunis Zhenli Bao di Semarang pada 1918. Hingga sampai ajalnya Komunisme di Indonesia tahun 1965, gerakan Anarkisme masih berkutat pada tataran media massa sebagai penyalur buah pemikirannya.

Punk dan Anarkisme

Anarkisme kembali muncul sekitar tahun 1990 an. Sebagai mediumnya adalah musik. Di dataran Inggris sebagai awal berkembangnya musik punk, itu menjadi sebuah gerakan perlawanan yang berdasar pada keyakinan Mereka menyindir penguasa dengan lirik-lirik lagunya yang sederhana, namun kadang sedikit kasar. Pada awalnya, musik punk berkembang pesat sebagai bentuk kekecewaan musisi rock kelas bawah terhadap industri musik saat itu yang dikuasai oleh nama-nama besar, seperti Rolling Stones, The Beatles, dll.

Anarkisme muncul sebagai pilihan terakhir bagi kaum punk karena telah kehilangan rasa percaya terhadap penguasa. Sayangnya, di Indonesia, kerap disalahartikan sebagai suatu tindakan vandalistik, perkelahian, ataupun kekerasan. , sebuah etika kaum punk memiliki arti tanpa kekangan, anti kemapanan, terbebas dari aturan negara, dan mereka menciptakan aturan tersendiri. Bahkan menciptakan fashion sendiri, seperti rambut mohawk, rantai spike, sepatu boots, celana jeans ketat, dan baju lusuh. Mencirikan anti kemapanan dan anti sosial.

Punk adalah ideologi hidup yang mencakup sosial dan politik. Menentang kediktatoran dalam masyarakat, industri, dan pemerintahan. Meneriakkan rasa frustasi dan kemarahan terhadap ketidakadilan. Punk adalah kaum kelas pekerja, bukan pengangguran.

Korona dan Anarko

Di tengah wabah pandemi virus korona, berita ditangkapnya beberapa tersangka pelaku vandalisme di Tangerang dari suatu kelompok yang disebut oleh kepolisian sebagai Kelompok Anarko-Sindikalisme membuat saya mengernyitkan dahi. Dikabarkan beberapa pemuda yang menjadi tersangka tersebut melakukan pencoretan fasilitas publik dengan sreuan yang provolatif yang berpotensi memancing kerusuhan, danDan juga kabarnya, Anarko-Sindikalisme akan menjarah Pulau Jawa pada tanggal 18 April besok.

Penangkapan tersebut dapat ditilik dari dua sudut pandang, yang pertama terkait dengan praktis politik yang dilakukan Anarko-Sindikalisme itu akan berbuah manis dan yang kedua bahwasanya gerakan ini hanya menjadi sakramen institusi negara untuk melancarkan rencana gelapnya, dan Anarko-Sindikalisme sebagai kambing hitam jika terjadi suatu kericuhan akibat fluktuasi ekonomi yang terjadi saat Korona ini berlangsung.

Jika dilihat dari sudut pandang yang pertama, memang benar, praktis politik yang dilakukan Anarko-Sindikalisme seperti itu adanya, akan tetapi, jika narasi besarnya adalah menjarah Pulau Jawa, ini yang menjadi pertanyaan. Apakah mereka memiliki kekuatan politik yang sangat kuat sehingga mereka bisa menjarah Pulau Jawa? Jangan melihat mereka sejenis dengan elite-elite politik yang membancak kekayaan alam Indonesia yang dengan perusahaan yang dimilikinya, mereka dapat menjarah Pulau Jawa bahkan Indonesia. Sepanjang sejarah pergerakannya di Indonesia sendiri, gerakan ini selalu bermuara pada kegagalan. Karena tidak didukung oleh institusi politik yang kuat (masyarakat dan kelompok organisasi) karena memang mereka sangat anti terhadap negara. Kita dapat mengira, bahwa narasi yang dibangun oleh kepolisian dalam hal ini institusi negara, sangatlah utopis. Hanya sekadar menebar hantu di tengah wabah pandemi Korona.

Dan jika ditilik dari sudut pandang yang kedua, Anarko-Sindikalime hanya dijadikan alat politik bagi negara untuk melancarkan kambing hitam terhadap setiap gerakan yang “melawan” otoritas negara karena ketidakbecusannya mengelola negara. Kita paham, bahwa imun ekonomi Indonesia sangat lemah dari sisi ekonomi ketika fluktuasi ekonomi secara makro ataupun mikro terjadi, apalagi sedang dilanda wabah pandemi Korona yang dapat menggerus stabilitas ekonomi yang akan merembet kepada stabilitas politik jika tidak ditangani secara cermat. Dan ketika, stabilitas tak bisa dikontrol, akan ada gejolak dalam masyarakat menengah ke bawah, otoritas negara dalam hal ini, akan melakukan beragam cara untuk menstabilkan kembali situasi ekonomi dan politik negara, dengan menerapkan secara tegas aturan yang akan cenderung mendistorsi kebebasan dan aspek demokrasi lainnya. Dan yang akan dijadikan kabing hitam ini semua, adalah berdasar pada narasi besar yang dikeluarkan oleh kepolisian, yaitu Anarko-Sindikalisme. Maka dari itu, jika ditilik dari sudut pandang kedua, Anarko-Sindikalisme ini hanya menjadi batu loncatan untuk berjalan ke arah yang lebih luas bagi otoritas negara, ketika negara tak bisa mengkontrol gejolak yang sedang terjadi di kemudian hari.

Lantas, apakah kita harus mempercayai institusi negara ketika mereka sedang bertindak pada keacuhan terhadap filsafat ideologi politik yang sedang berkembang? Saya rasa kita harus tolak secara keras.

Dengan penyebaran pandemi covid-19 , kematian pun seperti melewati kita masing-masing, pada saat yang sama ketika kita semua menemukan diri kita di bawah manajemen negara yang otoriter dan tidak teratur. Dalam keterasingan atas semua yang kita miliki sampai sekarang, bahkan jika itu adalah ilusi, untuk memutuskan apa yang terjadi pada diri kita sendiri (tetapi apakah untuk bekerja atau diam dirumah benar-benar keputusan yang kita buat sendiri?), Ini sekarang adalah fungsi yang muncul bagi kita sebagai latihan nyata dari kebebasan individu yang mendapati diri mereka dicegah, dikendalikan, dikriminalisasi (keluar dari rumah, membeli makan, pergi untuk melihat kerabat, bertemu teman, dll) dan bahkan mengatur perilaku harian dan intim dari orang-orang yang dikurung.

Situasi umum ini dilipatgandakan secara berbahaya bagi semua orang yang ditahan di dalam kurungan, orang-orang tunawisma yang dikucilkan , pasien di rumah sakit jiwa, hal tersebut dikunci oleh otoritas Negara, atas dalih belas kasihan, tanpa kunjungan, tanpa pandangan dari luar, tetapi juga mereka yang menemukan diri mereka terkurung dalam bentuk kedekatan sehari-hari seperti dalam keluarga.

Masih belum jelas apa yang akan tersisa dari periode yang mematikan ini, baik dalam hal ketentuan pemerintah, maupun dalam hal imajinasi dan perilaku sosial.

Refleks pertama jelas menarik untuk menggunakan “kebebasan” ini yang tampaknya menyelinap dan berusaha pergi hari demi hari, untuk menolak kendala yang mendesak saat ini. Jadi, kita melihat, di sana-sini, panggilan untuk liburan, berkumpul, untuk berani mengambil tindakan pengurungan. Keluar untuk keluar dan bukan karena salah satu alasan yang ditunjukkan pada kotak dari formulir otorisasi untuk mencetak, mencentang dan menandatangani untuk menyatakan niat sah dari seseorang untuk patuh, sudah merupakan keberanian, dan ya, kita harus berjuang melawan langkah-langkah ini yang berusaha untuk mengunci kita dan mengendalikan kita dalam proporsi yang tidak pernah terjadi sebelumnya.

Namun, teman dan kawan, bukankah situasi yang tak tertahankan ini justru menjadi momen untuk merenungkan makna yang ingin kita berikan kepada kehidupan dan untuk kegiatan kita.

Jika negara (selalu demokratis, patut diingat) menjadi begitu otoriter sehingga mencegah kita dari jogging atau meletakkan apa yang kita inginkan dalam keranjang belanja kita, apakah benar-benar jogging dan berlari yang harus kita lakukan untuk menentangnya? Apakah ini benar-benar masalah memiliki dan mengendalikan hidup kita dipahami sebagai fakta bahwa setiap orang memiliki pilihan untuk mengekspos diri mereka sendiri atau tidak, untuk mengambil risiko tetapi di atas semua itu untuk menjaga diri mereka sendiri sesuai keinginan mereka.

Apakah kebebasan kita terletak pada potongan-potongan kecil “kebebasan memilih” yang biasanya diserahkan kepada kita dan sekarang telah diambil? apakah menggunakan kebebasan seseorang benar-benar memilih “bebas” untuk menangkap atau menyebarkan virus “sesuka hati”, untuk menyembuhkan diri sendiri “sesuka hati”? Bukankan itu adalah liberalisme yang sangat liberal dan jelas-jelas berubah-ubah untuk menentang langkah-langkah kontrol dan kurungan yang sekarang berlaku bagi “kebebasan” kecil seseorang untuk melakukan apa yang diinginkan mereka?

Ini bisa menjadi menarik lagi hari ini, bagi siapa pun yang tertarik dengan proyek anarkis dan sejarahnya, tetapi juga lebih jauh lagi, untuk mengingat arus anarkis individualis historisnya, yang diilhami secara khusus oleh filsuf Jerman Max Stirner, yang memberikan definisi yang sangat berbeda dari makna liberal dan demokratis saat ini, kadang-kadang bahkan di kalangan kaum anarkis: “Yang Anda inginkan adalah kebebasan. Mengapa Anda tawar-menawar untuk kebebasan banyak atau sedikit?. Kebebasan hanya bisa menjadi kebebasan sepenuhnya; sepotong kebebasan bukanlah kebebasan. Anda ragu bahwa kebebasan total, kebebasan semua, adalah sesuatu yang harus diperoleh, Anda bahkan menganggapnya gila untuk menginginkannya saja? Jadi berhentilah mengejar dan balikkan usaha Anda menuju sesuatu yang lebih baik daripada yang tidak mungkin tercapai.

Mereka yang menemukan diri mereka bergulat dengan realitas terburuk dari tindakan-tindakan ini menunjukkan dengan paksa: pemberontakan, perjuangan dan solidaritas yang setara dengan kekuatan otoriter yang tersebar luas. Pemogokan sewa, pemogokan oleh mereka yang dipaksa untuk bekerja dan menjadi sasaran penyebaran virus.

Kebebasan lebih dari apa yang dapat diambil oleh Negara dari kita, memberi kita, mengambil dan memberikan kembali kepada kita lagi. Kebebasan adalah perjuangan dan pemberontakan.


Posted

in

by

Tags: